Langsung ke konten utama

Kami Bukan Tukang Bohong



“Terlepas dari segala keterbatasannya sebagai pendekatan kuantitatif, Statistik adalah knowledge yang didasarkan pada rasionalitas ilmiah—punya metodologi, yang dengannya orang menjadi tercerahkan di tengah keterbatasannya dalam memahami realitas populasi.”

Menarik ketika membaca sebuah tulisan bertajuk “Mengungkap ‘Ilusi’ Data Kemiskinan BPS” yang  di-posting di Kompasiana hari itu. Data kemiskinan BPS memang telah lama diributkan oleh banyak pihak di berbagai media, jauh sebelum tulisan yang satu itu di-posting. Dan dari dulu, soal yang dipermasalahkan selalu sama, yakni akurasinya, kesesuaiannya dengan realitas yang sesungguhnya di lapangan.

Bahkan, tidak sedikit mereka yang ragu dengan data kemiskinan BPS dengan seenak hatinya, tidak sungkan-sungkan, menuduh BPS telah berbohong perihal data tersebut, merekayasa angka—dengan menetapkan garis kemiskinan yang rendah, misalnya—agar angka kemiskinan yang dihasilkan sesuai dengan target yang telah ditetapkan di dalam RPJMN alias keinginan pemerintah, serta segala rupa tuduhan lain bernada sama: bahwa angka kemiskinan BPS hanyalah kebohongan untuk kepentingan pencitraan pemerintah.

Sebetulnya, kalau yang dipersoalkan adalah soal metodologinya, soal akurasinya semata, hal itu tak masalah buat BPS. Dan, BPS sendiri amat terbuka dan membuka ruang diskusi untuk itu─ tentunya dengan catatan harus didasarkan pada penalaran dan metodologi ilmiah, dalam semangat argue karena hal yang dipersoalkan adalah statistics, sebuah knowledge. Justru, sikap kritis─ dari para pengguna data ─seperti itu sangat diharapkan oleh BPS yang terus berbenah diri dalam menyajikan statistik berkualitas bagi negeri ini.

Tetapi menuduh BPS berbohong atas data-data yang disajikannya, soal data kemiskinan, misalnya, adalah sesuatu yang tidak dapat diterima, dan jujur amat menyayat hati kami para insan BPS, yang telah bersusah payah mengerahkan segenap kemampuan yang ada untuk menghasilkan data kemiskinan yang berkualitas bagi pembangunan negeri ini di tengah segala keterbatasan yang ada, di tengah beratnya tantangan penyelenggaraan statistik di negeri ini, yang maha luas dengan segala keragaman karakteristik wilayah dan penduduknya.

Dan, rasa pedih dari sayatan itu adalah sesuatu yang terlalu sulit dimengerti oleh mereka yang hanya tahu menggunakan atau menganalisis data di atas meja─seperti penulis postingan di atas yang katanya seorang kandidat master dalam bidang Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor (IPB) itu─tanpa pernah merasakan betapa very exhausted­-nya rangkaiaan kegiatan statistik mulai dari perencanaan sensus/survei, pengumpulan (collecting), pengolahan (processing), hingga data tersaji dan siap dianalisis.

Dari rangkaian proses yang begitu melelahkan itu selalu tersisa catatan perjuangan dan kerja tak kenal lelah dari mereka yang menurut saya pantas disebut sebagai pawlawan─data─yang tentu saja tidak diketahui oleh para pengguna data, karena memang tidak dipublikasikan.

Anda mungkin tidak mengira kalau para pegawai BPS di daerah tidak sedikit yang harus begadang semalaman selama berminggu-minggu untuk menuntaskan rangkaian sensus atau survei yang sudah dikejar deadline. Ini belum seberapa jika dibandingkan dengan mereka yang mengalami patah kaki karena sulitnya medan tugas, nyaris tewas terombang-ambing ganasnya gelombang laut di Kepulauan Aru sana hanya demi kelangkapan isian beberapa lembar kuesioner, atau mereka yang disandera dan diikat di bawah pohon oleh sekelompok suku ketika mencacah di pedalaman Papua sana.

Kisah-kisah di atas mungkin terdengar sedikit lucu bagi sebagian Anda. Tetapi, semua itu adalah kenyataan. Kisah-kisah semacam itu juga kerap kali terjadi pada Survei Sosial Eknomi Nasional (SUSENAS), yang selama ini datanya dijadikan sebagai basis penghitungan angkan kemiskinan di Indonesia, yang juga digunakan oleh lembaga-lembaga internasional semacam World Bank atau Asian Development Bank (ADB) untuk kepentingan yang sama dengan standar kemiskinan yang sedikit berbeda─yang belum tentu representatif untuk Indonesia─yang oleh mereka yang kurang pengetahuan─perihal penghitungan angka kemiskinan─hasil penghitungannya selalu dibenturkan dengan angka kemiskinan BPS.

SUSENAS sendiri adalah survei yang sangat melelahkan. Survei ini tidak seremah hitung cepat (quick count) hasil pemilu atau survei mengenai preferensi pemilih terkait calon presiden dambaannya di 2014 nanti, yang sebetulnya lebih patut diragukan kevalidannya ketimbang data-data BPS yang amat jelas, sejelas mata hari di siang bolong metodologinya.

Untuk satu responden SUSENAS dibutuhkan waktu rata-rata minimal dua jam untuk wawancara karena ada ratusan item pertanyaan terkait pengeluaran konsumsi rumah tangga yang semuanya harus digali dan ditanyakan kepada responden. Selain itu, survei ini juga berskala nasional, cakupannya (coverage) adalah seluruh Indonesia dengan jumlah sampel mencapai 68.000 rumah tangga dari Aceh hingga Papua, dari Jakarta hingga ke berbagai pelosok negeri.

Data kemiskinan yang tersaji dihadapan Anda memang belum sempurna. Masih banyak kekurangannya. Anda sebut ilusi atau sampah pun tak mengapa karena Anda bukan Tuhan yang Maha Tahu betapa kerasnya usaha dan kerja kami dalam meyajikannya. Tetapi tolong, jangan sebut kami berbohong soal data itu. Karena seperti halnya Anda yang begitu mendambakan kejujuran di negeri ini, kami tidak sudi disebut pembohong, apalagi membohongi bangsa dan negara ini dengan data-data statistik. Alangkah dahsyat dan betapa besar dosanya kebohongan semacam itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...