Produsen Kakao yang Jarang Makan Cokelat
Suatu siang di Desa Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Rezki merengak di samping ayahnya, La Ode Sarima, yang sedang sibuk menjemur biji kakao di halaman rumahnya. Rezki meminta kepada ayahnya untuk dibelikan sepotong cokelat Silv@r Quin sebagaimana yang dilihatnya dalam tayangan iklan di TV tempo hari. Permintaan yang sulit buat Sarima. Soalnya, harga sepotong Silv@r Quin di kios dekat rumah mereka sebesar Rp 12.000,00-, lebih dari separuh harga satu kilogram biji kako yang hanya sebesar Rp 20.000,00-. Dengan sangat terpaksa dan berat hati, Sarima menolak permintaan anak kesayangannya. Sambil mencoba menghibur Rezki yang terus merengek, Sarima berucap, “sabar Rezki, belum ada uang. Nanti sudah laku ini cokelat (biji kakao), baru kita beli.”
Sarima adalah gambaran sebagian besar petani kakao dan juga penduduk negeri ini secara umum, yang jarang makan dan minum cokelat. Bagi mereka, cokelat mungkin adalah sesuatu yang mahal, atau bukan sesuatu yang biasa dikonsumsi sebagaimana jenis panganan lainnya, gorengan misalnya; dengan kata lain, makan dan minum cokelat bukanlah kultur orang Indonesia seperti halnya orang Eropa. Karenanya, perlu semacam sosialisasi dan pembiasaan agar orang Indonesia gemar makan cokelat, seperti acara Chocolate Party on Sunday yang dihelat di pelataran parkir Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu kemarin (11/12).
Meskipun Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia, kenyataannya konsumsi cokelat penduduk Indonesia masih sangat rendah. Saat ini, produksi biji kakao Indonesia telah mencapai 500 ribu ton, ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Sayangnya, pada saat yang sama, konsumsi cokelat penduduk negeri ini hanya sebesar 0,7 ons/kapita/tahun, sangat jauh bila dibandingkan dengan negara-negara Eropa, misalnya: Swiss yang mencapai 10,2 kg/kapita/tahun, Jerman sebesar 9 kg/kapita/tahun, atau Inggris yang mencapai 8,8 kg/kapita/tahun. Padahal, tak satu pun negara-negara Eropa tersebut yang memproduksi kakao. Terus dari mana asalnya bahan baku cokelat yang mereka konsumsi? Mudah untuk ditebak, sebagiannya─tidak sedikit─merupakan biji-biji kakao yang diproduksi Sarima dan kawan-kawan, petani kakao negeri ini.
Lost Value Added
Di lain waktu, Pak Rudy begitu bangga ketika membagi-bagikan cokelat yang dibawanya dari Swiss sebagai buah tangan kepada para stafnya di sebuah kantor, di Kawasan Kuningan, Jakarta Pusat. Pak Rudy, yang baru pulang berdarma wisata dari sejumlah negara di Eropa, menganggap cokelat yang dibawanya merupakan lambang prestis, bukan sembarang cokelat tepatnya. Dengan begitu semangat, dia mencoba meyakinkan anak buahnya bahwa sepotong cokelat bermerek Swiss Thins (LINDT) yang sedang mereka makan adalah cokelat berkualitas tinggi, paling terkenal se antero Swiss. Mungkin tidak pernah terlintas dalam pikiran Pak Rudy, bisa jadi, bahan baku oleh-oleh cokelat yang begitu dibanggakannya itu adalah biji-biji kakao yang diimpor dari Indonesia, produksi Sarima dan kawan-kawan.
Kasus cokelat buah tangan Pak Rudy di atas mirip dengan impor kayu lapis Indonesia dari China. Beberapa waktu yang lalu, impor kayu lapis Indonesia dari China cukup tinggi. Mirisnya, setelah ditelusur, bahan baku dari kayu lapis tersebut ternyata adalah kayu-kayu bulat dari Indonesia. Itu artinya, kita telah menjual kayu bulat ke China, kemudian membelinya kembali dalam bentuk kayu lapis, dengan harga yang lebih tinggi tentunnya.
Dalam kasus Pak Rudy dan Impor kayu lapis di atas telah terjadi yang namanya kehilangan potensi nilai tambah (lost value added), sesuatu yang sebenarnya merugikan buat Indonesia. Lebih dari itu, kita seharusnya tidak mengimpor sesuatu yang sejatinya merupakan hasil produksi kita sendiri, dalam hal ini kehilangan cadangan devisa seharusnya bisa dihindari.
Kayu lapis dan cokelat adalah sebagian kecil dari komoditas unggulan negeri ini yang diekspor dalam bentuk mentah kemudian dibeli/diimpor kembali produk olahannya. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi lagi dan terus terjadi di masa-masa mendatang, jika pemerintah benar-benar sungguh-sungguh mengupayakan pengembangan sektor hilir/indsutri pengolahan komoditas-komoditas tersebut.
*****
Datat-data: DetikFinance
Komentar
Posting Komentar