Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2013

Wajah Petani Kita

Bertempat di aula sebuah hotel bintang empat di kawasan Jakarta Pusat, siang itu, Pak Marsad tampak canggung. Maklum, petani asal Bojong Gede, Kabupaten Bogor, itu sedang dikelilingi belasan peserta pelatihan Instruktur Nasional Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) untuk diwawancarai. Baju batiknya yang sedikit berkelas tak mampu menyembunyikan penampilannya yang sangat bersahaja. Urat-urat tangannya nampak jelas, timbul dengan begitu mencolok, berpadu-padan dengan kulitnya yang hitam legam. Dari tampilan fisiknya, siapa pun bisa menerka, Pak Marsad adalah seorang pekerja keras (baca: kasar). Siang itu, para instruktur sedang mempraktekkan cara mewawancarai sumber informasi atau responden dengan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan) yang nantinya  bakal diajarkan ke petugas lapangan. Dan, Pak Marsad adalah respondennya. Saat wawancara, dengan aksen Betawi-nya yang kental, ia menyebutkan satu per satu profil anggota rumah tangganya (termasuk

"Kengototan" Orang Madura

Kemarin (11 September), penulis berkunjung ke Pulau Madura, persisnya Kabupaten Sampang, tempat yang banyak melahirkan tokoh nasional. Ketika mobil yang ditumpangi melewati Jembatan Suramadu, penulis terlibat percakapan ringan mengenai dampak ekonomi dari pembangunan jembatan itu terhadap perekonomian—lebih tepatnya perbaikan kesejahteraan—penduduk Madura dengan seorang kawan dari Surabaya. Diskusi kami sama sekali tak menggunakan data-data kuantitaf—namanya juga diskusi ringan, hanya sebatas pemandangan yang kami jumpai di sepanjang jalan di Kabupaten Bangkalan, kabupaten yang terhubung langsung dengan Surabaya oleh Jembatan Suramadu. Karena sebatas pengamatan kasat mata, kesimpulan dan arguman kami bisa saja tak valid dan subyektif. Pemandangan yang tersaji dari balik kaca mobil menunjukkan bahwa pembangunan Jembatan Suramadu nampaknya tak memberikan dampak berarti terhadap geliat perekonomian penduduk, khususnya bagi mereka yang tinggal pada kawasan

Ramalan Jayabaya

Pemilihan presiden (pilpres) masih setahun lagi. Namun, geliatnya kian terasa. Para calon yang bakal bertarung di medan laga satu per satu mulai unjuk gigi. Ihwal suksesi kepemimpinan di negeri ini, selama ini ada mitos—dalam tradisi Jawa—bahwa kemakmuran, kesejahteraan, dan kejayaan Indonesia bakal direngkuh jika negeri ini dipimpin oleh seorang presiden yang namanya diakhiri dengan suku kata “ go ”, yang diambil dari frasa dalam bahasa Jawa: “ notonogoro” . Konon, mitos ini didasarkan pada ramalan Prabu Jayabaya, raja Kediri yang memerintah pada 400-an Masehi.  Sayangnya, di tengah geliat menuju pilpres 2014, tak satupun calon presiden yang namanya menyeruak di ruang publik belakangan ini kompatibel dengan ramalan Sang Prabu. Apakah ini merupakan alamat bahwa pilpres 2014 bakal gagal menelorkan pemimpin yang dapat menghantarkan negeri ini  merengkuh kemakmuran, kesejahteraan, dan kejayaan—setidaknya dalam lima tahun mendatang? Kilas kejayaan Kejayaan Nusantar

Presiden Non-Jawa

Budayawan Radhar Pancadahana menulis sebuah artikel menarik berjudul “Saatnya Orang Non-Jawa” yang dimuat di Harian Kompas pada 3 September 2013. Artikel itu memberi penekanan ihwal pentingnya memberi kesempatan kepada insan-insan unggul dari luar Jawa (non-Jawa) untuk memimpin negeri ini pada 2014. Tentu sebagai presiden, bukan hanya wakil presiden. Tak bisa ditampik, berbagai pertimbangan irasional, primordial, supranatural bahkan mistis, serta acuan-acuan lain yang sama sekali tak berelasi dengan kualitas dan kepabilitas seseorang dalam memimpin masih menjadi acuan ketika memilih pemimpin di negeri ini. Alhasil, demokrasi yang kerap kita banggakan hampir selalu gagal dalam melahirkan pemimpin yang mampu membawa perbaikan, perubahan, dan kemajuan. Selama ini, pra-anggapan bahwa presiden harus orang Jawa dengan segala bumbu mistisnya, misalnya, adalah batu sandungan bagi para tokoh potensial dari luar Jawa untuk menjadi presiden. Di negeri ini seolah sudah ada a

Mimpi Swasembada Kedelai

Kisruh kedelai kian runyam. Ihwal kenaikan harga kedelai yang telah menembus Rp9.600 per kilogram, para perajin tahu-tempe kembali mengancam bakal melakukan mogok produksi selama tiga hari pada 9-11 September 2013 ( Kompas , 3 September 2013). Aksi serupa pernah dilakukan pada 25-27 Juli tahun lalu. Diketahui, sekitar 7 0 persen dari kebutuhan kedelai nasional yang mencapai 2,2 juta ton per tahun (1,6 juta ton untuk industri tahu-tempe) harus diimpor karena produksi dalam negeri jauh dari men cukup i : hanya sekitar 800 ribu ton biji kering per tahun. Karena itu, harga kedelai di Tanah Air amat dipengaruhi harga kedelai impor. Tahun lalu, harga kedelai melonjak akibat kekeringan yang melanda Amerika Serikat, pemasok utama kedelai untuk Indonesia . Sedangkan tahun ini, lonjakan harga disebabkan oleh penguatan dolar Amerika terhadap rupiah yang mengerek harga komoditas impor, termasuk kedelai. Jadi, satu-satunya solusi agar kisruh kedelai tak terus berulang adal

Sinyal Buruk Hasil Sensus Pertanian

Awal bulan ini (2 September) Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka sementara hasil Sensus Pertanian yang dilaksanakan sepanjang bulan Mei 2013 (ST2013). Hasil ST2013 menyebutkan, jumlah rumah tangga usaha pertanian saat ini sebanyak 26,13 juta rumah tangga atau menurun sebanyak 5,04 juta rumah tangga bila dibandingkan dengan hasil sensus pertanian pada tahun 2003. Perlu diketahui, pengertian rumah tangga usaha pertanian adalah rumah tangga yang minimal salah satu anggotanya mengusahakan kegiatan pertanian. Cakupan kegiatan pertanian meliputi enam subsektor, yakni tanaman pangan (padi dan palawija), hortikultiura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Motif usaha yang dijalankan tidak melulu harus ditujukan untuk memperoleh keuntungan finansial. Tapi boleh jadi hanya untuk pemenuhan pangan keluarga, atau kerap disebut usaha pertanian subsisten seperti yang lazim dijumpai pada subsektor tanaman pangan. Meski belum selasai dihitung oleh