Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2013

Di Balik Pertumbuhan Kelas Menengah

Penurunan jumlah penduduk miskin kembali seret . Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan ini (2/1) menyebutkan, sepanjang periode Maret hingga September 2012, jumlah penduduk miskin Indonesia hanya berkurang sebesar 0,54 juta orang atau sekitar 0,30 persen. Penurunan tipis ini hanya menggeser tingkat kemiskinan ke posisi 11,66 persen pada September 2012. Artinya, target pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga mencapai kisaran angka 9,5-10,5 persen di tahun ini bakal sulit tercapai. Pasalnya, tren penurunan jumlah penduduk miskin dalam 4 tahun terakhir, yakni sepanjang 2009-2012, tak pernah mencapai satu persen dalam setahun, apalagi dalam waktu hanya enam bulan. Terlepas dari laju penurunan jumlah penduduk miskin yang terus melambat, ada satu hal yang sering luput dari perhatian kita selama ini, yakni pertambahan proporsi penduduk kaya Indonesia yang sangat cepat. Konon, laju pertambahan orang kaya baru (OKB) Indonesia adalah yang terc

JK, Tak Ada Matinya

Konon, tatkala Soedarmono mengakhiri masa jabatannya sebagi wakil presiden, ia merasa begitu kesepian. Setelah tak lagi menjabat sebagai wakil presiden, memang nyaris tak ada lagi yang terdengar dari mantan wakil presiden Indonesia kelima itu hingga ia tutup usia pada 25 Januari 2006. Lain Soedarmono, lain pula Jusuf Kalla (JK). Mantan wakil presiden Indonesia kesepuluh ini tak mengenal kata kesepian setelah tak lagi menjabat sebagai wakil presiden. JK tetap eksis dan sangat aktif di ladang sosial dan kemanusiaan meskipun tak lagi menjabat. Orang tentu bisa melihat bagaimana Palang Merah Indonesia (PMI) begitu bergairah di bawah kepemimpinannya. Kiprahnya di bidang perdamaian, baik di kancah nasional maupun internasional, juga membanggakan. JK memang sedikit istimewa dibanding para mantan wakil presiden negeri ini, para pendahulunya. Mungkin cuma JK mantan wakil presiden yang kerap menghiasi pemberitaan media—cetak, elektronik, dan online . Nyaris saban hari, mes

Loyalitas Ruhut

Sosok Ruhut memang selalu menarik untuk disorot, semenarik lakon Bang Poltak, Raja Minyak dari Tarutung yang diperankannya dalam sinetron Gerhana yang amat populer di tanah air pada dekade 90an.  Di panggung politik tanah air, Ruhut adalah politisi kontroversial. Tingkah dan sejumlah statemennya di media kerap menuai kontroversi dan kegaduhan. Sebut saja yang teranyar adalah seru annya kepada seluruh kader Partai Demokrat–termasuk sang ketua umum, Anas Urbaningrum–yang namanya disebut-sebut terkait dengan kasus pembancakan proyek Hambalang agar legowo mengundurkan diri dari kepengurusan partai. Konon, sikap Ruhut yang berani berseberangan dengan Anas inilah yang menjadi biang pemecatan dirinya dari kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat. Kontroversial, di sinilah letak sisi menarik dari seorang Ruhut. Belakangan ini, panggung–parodi–politik nasional seolah sepi tanpa ocehannya. Gak ada Ruhut, gak rame, mungkin seperti itu ungkapannya. Sejak pemecat

Kelebihan Vitamin E

Kala masih menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) sekitar 6 tahun yang lalu, dalam sebuah kuliah Bahasa Indonesia, saya pernah menjadi bahan tertawaan seisi kelas. Saya lupa materi apa persisnya yang menjadi topik bahasan di kelas hari itu. Tapi yang jelas, saya mendapat tugas membaca sebuah kalimat. Entah mengapa, saat sedang membaca kalimat yang ditugask an itu, tawa tiba-tiba pecah membahana di ruangan kelas. Pastilah ada yang lucu. Dan kelucuan itu ternyata muncul ketika saya mengucapkan kata "kedua" dengan gaya orang Sulawesi udik. Pengucapan fonem "e" saya terlalu kentara sehingga terdengar lucu di telinga  teman-teman yang sebagian besar berasal dari Jawa. Rupanya bagi mereka, pengucapan fonem "e" yang terlalu kelebihan vitamin E itu, sama lucunya dengan nama dosen Bahasa Indonesia yang mengajar hari itu: Ibu Rahasiawati, dosen Universitas Negeri Jakarta asal Makassar. Belajar dari kejadian lucu tersebut, selama empat tahun kem

Donasi Sang Pejabat

Acara pisah sambut pejabat eselon satu dan dua di lingkungan kedeputian statistik produksi, Badan Pusat Statistik, siang itu berlangsung dengan penuh keceriaan. Ada canda-tawa yang menyelingi serta sedikit keharuan akan nostalgia masa lalu. Setahun yang lalu, di tempat yang sama dan dalam konteks acara yang kurang lebih sama--yakni pisah sambut pejabat eselon dua--ada kejadia n yang sedikit tak mengenekkan. Tatkala rangkuman kesan dan pesan seluruh staf dan pejabat struktural dibacakan, terselip sebuah kalimat yang boleh dibilang memojokkan sang pejabat yang seharusnya menjadi bintang dalam acara itu: bahwa sang pejabat adalah orang yang pelit.   Tentulah sang pejabat tersebut tak enak hati, dan dalam penyempaian kesan dan pesannya kepada seluruh hadiran dia pun memcoba membela diri, bahwa dia sebetulnya tidak pelit, hanya berusaha berhemat. Orang hemat dan pelit memang beda-beda tipis. Dia juga mengatakan bahwa sering bersedekah--bukan kepada bawahan--namun tidak dipublis ke khalaya

Koboi Cengkareng

Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, akhirnya untuk pertama kali saya menginjakkan kaki di Tanatoraja. Sayang, malam telah larut. Eksotisme dan keindahan Toraja yang masyur itu tak nampak, tenggelam oleh pekatnya malam. Tapi pagi ini, saya tiba-tiba terkesiap oleh pemandangan yang tersua di depan mata. Betul-betul memesona, alam yang sungguh cantik lagi menawan. Lelah bua h perjalanan 9 jam dari Makassar pun lesap. Keindahan dan eksotisme Tanatoraja memang melegenda lagi mendunia. Sayang, untuk menjangkaunya ternyata tidak mudah. Bayangkan, butuh sekitar 9 jam—dengan bus–untuk menginjakkan kaki di tempat yang oleh para turis mancanegara disebut land of the heaven ini. Sekedar menggambarkan, dengan perjalanan darat, ada 6 kabupaten (mudah-mudahan gak salah hitung) yang harus diterabas sebelum sampai ke Toraja: Maros, Pangkep, Barru, Pare Pare, Sidrap, dan Enrekang. Jalan yang harus dilalui pun cukup menantang: tidak sepenuhnya mulus, serta sempit nan berkelok saa

Dunia Memang Sempit

Tahun 2010. Siang itu, di sebuah ruangan di kantor Badan Pusat Statistik (BPS), Pasar Baru, Jakarta Pusat, seorang kawan tampak sedang bingung memandangi selembar kertas pilihan penempatan di hadapannya. Kertas itu tampak kosong melompong, belum terisi. Dia memang tak punya banyak pilihan. Finis dengan nilai indek prestasi kumulatif yang biasa saja memaksanya harus pandai-pa ndai menuliskan nama tempat (provinsi/kabupaten) di kertas itu, jika tak ingin tersasar jauh di tempat-tempat yang sama sekali tidak diingini oleh sebagian besar kawannya yang lain, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur. Syahdan, kehadiran saya siang itu akhirnya memecah kebingungannya. Tak banyak pikir, dia segera mengambil kertas pilihan penempatan yang telah saya isi dengan nama-nama provinsi di Pulau Sulawesi: Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo. Dia kemudian menconteknya. Akhirnya, pilihannya pun serupa dengan saya. Siang itu, saya tak lupa mendoakannya agar ditempatkan di Sul

Statistik Getir di Hari Ibu

Di tengah sejumlah kemajuan pembangunan ekonomi yang telah kita rengkuh, ternyata masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Salah satunya adalah masih tingginya angka kematian ibu (AKI). Setiap tahun, diperkirakan nyaris 10.000 ibu meninggal saat melahirkan di negeri ini. Saat ini, angka kematian ibu di Indonesia mencapai 220 kasus dari setiap 100.000 peristiwa kelah iran. Angka ini masih sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Malaysia, misalnya, AKI negara serumpun ini hanya sebesar 29. Lagi-lagi, kita kalah dari Malaysia selain dalam sepakbola. Sejumlah provinsi di Indonesia bahkan memiliki AKI jauh di atas angka nasional, misalnya, Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur. AKI di kedua provinsi tersebut masing-masing sebesar 362 dan 306. Kilasan angka-angka statistik di atas setidaknya mewartakan dua hal. Pertama, jasa seorang ibu sangatlah besar. Perjuangannya saat melakoni proses persalinan adalah perjuangan bertaruh nyawa: hi

Lelucon Bahasa

Orang Sulawesi Selatan dan Tenggara memiliki keunikan dalam penggunaan kata "kita" yang berfungsi sebagai kata ganti dalam kaidah bahasa Indonesia. Kata ini menjadi unik karena penggunaannya yang keliru dan konsekwensi dari kekeliruan tersebut yang dalam kasus tertentu bisa menimbulkan keselahpahaman yang sedikit "berbahaya" bagi mereka yang bukan berasal dari Sulawesi Selatan dan Tenggara. Dalam pergaulan sehari-hari, orang Sulawesi Selatan dan Tenggara menggunakan kata "kita" sebagai bentuk yang lebih halus dari kata "anda", kata ganti orang kedua tunggal. Tujuannya adalah untuk menghormati dan menghargai orang yang sedang diajak bicara. Persis dengan penggunaan kata sampean atau panjenengan dalam kebiasan orang Jawa, atau penggunaan kata antum (kalian untuk laki-laki) dalam Bahasa Arab--yang sejatinya merupakan bentuk jamak dari kata anta (anda)--saat berbicara dengan seseorang. Meskipun maksudnya baik, penggunaan kata "ki

Laut yang Bermuka Dua

Saya berusaha untuk tak mengeluh dalam bekerja dengan selalu mengingat cerita seorang kawan tatkala melakoni sulitnya kegiatan pengumpulan data di lapangan. Begini ceritanya: Awan hitam pekat bergelayut di langit Teluk Buton sore itu. Pertanda laut yang semula tenang dan bersahabat akan segera menunjukkan kegarangannya: badai bakal segera datang. Para awak kapal pun mulai m empersiapkan diri dan mengingatkan para penumpang bahwa pelayaran hari itu akan sedikit menegangkan, lebih tepatnya menakutkan. Angin kencang pun mulai bertiup. Sejurus kemudian, gelombang laut mulai meninggi dengan ketinggian yang tak kira-kira, nyaris dua meter, lebih tinggi dari badan kapal. Jonson (sebutan kapal tradisional di wilayah Buton dan Muna) pun melai terombang-ambing dipermainkan ganasnya gelombang. Tangis histeria para kaum wanita pun pecah membahana tatkala badan kapal yang ukurannya tak seberapa itu dihajar gelombang. Berulangkali jonson terangkat tinggi hingga dua meter, kemudian

Sensasi Naik Gunung

Pagi itu, puncak Merapi tampak tenang dibalut kabut putih di arah selatan. Kegarangan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia itu tak nampak. Betul-betul pemandangan yang sangat indah di ketinggian sekitar 3.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sayang, puncak yang dituju pada kegiatan pendakian hari itu bukanlah Merapi, tapi puncak Gunung Merbabu yang tinggal beberap a ratus meter lagi. Puncak setinggi 3.142 mdpl itu telah menunggu untuk segera ditapaki. Mencapai puncak. Itulah obsesi setiap pendaki gunung. Obsesi yang harus dibayar dengan kelelahan fisik yang luar biasa, memang. Belum lagi ditambah dengan dinginnya suhu udara yang terkadang terasa menusuk tulang. Namun semua itu sirna tatkala pemandangan indah yang hanya bisa disaksikan pada ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut tersua di depan mata. Sensasi mencapai puncak memang luar biasa. Saat menapakkan kaki di sana, kita serasa berada di atas awan. Ada kepuasan tersendiri yang sulit dijelaska

Manusia Setengah Dewa

Syahdan, suatu ketika di dekade 30an telah terjadi pembunuhan oleh seorang pemuda, di Blangnipa, tanah Mandar, Sulawesi Barat (dulu Sulawesi Selatan). Menurut adat setempat, pemuda tersebut harus dijatuhi hukuman mati. Sang pemuda hanya bisa lolos dari ancaman hukuman mati jika semua anggota pabbicara (dewan adat) yang beranggotakan tujuh orang sepakat memberikan ampunan. E nam orang anggota dewan adat telah setuju untuk memberikan ampunan, kecuali satu: ibu kandung pemuda tersebut. Pemuda malang itu pun akhirnya meregang nyawa di pangkuan ibu kandungnya sendiri. Peristiwa di atas begitu membekas dalam ingatan Baharuddin Lopa, mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung di era Gus Dur. Dengan latar peristiwa itu, Lopa kecil kemudian tumbuh menjadi penegak hukum yang tangguh dan tanpa pandang bulu. Bagi Lopa, hukum harus ditegakkan meskipun langit runtuh, meskipun umur dunia ini tinggal sehari. Seorang wartawan senior Kompas asal Makassar yang juga sahabat Lopa, Abun Sa