Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2012

Menyongsong Bonus Demografi

Di tengah buramnya gambaran kehidupan berbangsa saat ini, ternyata masih ada sedikit asa dan optimisme kedepan, bahwa kita akan merengkuh kejayaan sebagai bangsa: menjadi bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera. Tak kurang 15 tahun lagi momentum dan kesempatan itu bakal datang. Jika kita gagal memanfaatkannya, habislah kita! Bonus demografi Bonus demografi, itulah “doorprize” yang bakal diterima bangsa ini pada tahun 2020-2030 nanti. Saat itu, beban tanggungan penduduk usia produktif (15-64 tahun) menjadi sangat kecil. Sebagai gambaran, setiap 100 penduduk usia produktif hanya menanggung 44 orang tidak produktif. Masa itu pasti akan datang, tak bisa dihadang. Namun pertanyaannya, mampukah kita memanfaatkannya sebagai fondasi kejayaan di masa datang? Bonus demografi hanya akan menjadi berkah jika dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi (pendapatan nasional) yang stabil. Karenanya, linieritas pertumbuhan ekonomi harus dijaga, bahkan harus ditingkatkan. Dengan demikia

Mengukur Kesejahteraan

Selama ini, pemerintah kerap dituduh “berbohong” terkait sejumlah indikator perekonomian yang tersaji di ruang publik. Pemicunya tidak lain adalah kesenjangan antara informasi yang terwartakan melalui indikator-indikator tersebut dengan realitas yang dirasakan oleh masyarakat. Tak bisa ditampik, gambaran yang diperoleh dari sejumlah indikator perekonomian kerap tidak sejalan dengan fakta keseharian yang dirasakan oleh masyarakat. Optimisme yang tergambar lewat besaran angka-angka statistik kerap kontradiksi dengan fakta keseharian yang dialami oleh sebagian besar penduduk. Ambil contoh, angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, misalnya. Sejak tahun 2006, Badan Pusat Statistik (BPS) selalu melaporkan bahwa kemiskinan terus menurun secara konsisten. Sementara pada saat yang sama, publik mendapati kenyataan sebaliknya: kondisi kemiskinan kian mengenaskan. Fakta keseharian, yakni apa yang dilihat sehari-hari, adalah alasan kuat yang menjadikan mereka sangsi, bahk

Oleh-oleh dari Papua

Tulisan singkat ini adalah oleh-oleh saya dari Papua. Bukan koteka atau buah merah, tapi hanya sepenggal cerita dan sepotong pengalaman. Semoga bermanfaat. Awal bulan ini, saya mendapat kesempatan berharga untuk mengunjungi tanah Papua. Tidak main-main, tempat yang saya kunjungi adalah Merauke, sebuah kabupaten nun di ujung timur Papua. Kawan tentu ingat dengan lagu “ dari Sabang sampai Merauke ” yang kerap kita dendangkan saat duduk di bangku sekolah dasar itu.  Saya benar-benar tersengat rasa haru kala menginjakkan kaki di Bandara Mopah, di Merauke. Rasa lelah akibat penerbangan hampir sepuluh jam lamanya dari Jakarta seketika sirna kala tubuh ini menapakkan kaki di Merauke, tergantikan oleh rasa bangga yang, jujur, begitu meluap-luap. Betapa tidak. Sejak SD hingga duduk di bangku SMA, saya tak pernah bermimpi sekali pun bakal ke Papua, apalagi Merauke.  Bagi saya yang tumbuh besar di sebuah pulau kecil nun di ujung tenggara Sulawesi, bisa menginjakkan kaki di Kendari

Peran TKI dalam Penanggulangan Kemiskinan

Gemuruh pembangunan ekonomi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Faktual, saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data yang didiseminasi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret 2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin karena kondisi kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin. Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari harapan. Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras, dan upaya penanggulangan kemiskinan hendaknya

Tantangan Indonesia: Miskin, Rentan, dan Timpang

Tak bisa ditampik, gemuruh pembangunan yang dilakukan pemerintah telah menuai hasil: perbaikan ekonomi terus terjadi. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, rata-rata di atas 6 persen per tahun sejak tahun 2006. Di tahun 2009, pertumbuhan ekonomi memang sempat terkoreksi pada angka 4,6 persen. Tapi, itu adalah hal yang bisa dimaklumi. Kala itu, badai krisis ekonomi global tengah menerpa. Dengan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 4,6 persen pun sebetulnya kita patut diacungi jempol. Pasalnya, kita bisa tumbuh positif dan moderat sementara pada saat yang sama banyak negara-negara di dunia mengalami resesi dan tumbuh negatif. Bahkan, angka pertumbuhan sebesar itu telah menempatkan kita sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Seiring pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, pendapatan per kapita terus meningkat. Di tahun 2011, misalnya, telah mencapai 3.543 dollar AS. Dengan angka pendapatan per kapita sebesar ini, kita telah

"Otak Dagang"

Ibarat memantik api di dekat tumpukan kayu bakar yang telah disirami bensin, api dengan seketika  menyala dan berkobar. Perumpamaan ini saya kira tepat untuk menggambarkan reaksi teman-teman alumni STIS angkatan 49 kala menanggapi kicauan saya di sebuah situs jejaring sosial beberapa hari lalu melalui puluhan komentar yang mereka tuliskan. Anda bisa membaca kicauan yang saya maksud di sini . Kicauan tersebut nampaknya telah membuat teman-teman alumni STIS angkatan 49 “pegal hati”. Kala membaca komentar yang mereka tuliskan, saya merasa telah menjadi public enemy . Sebegitu mudahnya kah kita memojokkan dan membenci orang lain. Bukankah di balik segala cacat dan kekurangannya, setiap orang juga punya sisi-sisi positif yang patut diapresiasi. Kalau dikatakan saya tidak beretika dan buruk dalam hubungan sosial dengan menuliskan kicauan tersebut, baiklah saya terima. Saya mawas diri, memang terlalu banyak kekurangan pada diri ini dalam hal beretika dan membina hubungan sosia