Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2012

Penurunan Kemiskinan: Sebuah Keberhasilan ‘Semu’

Pemerintah telah menetapkan 11 prioritas pembangunan nasional tahun 2009-2014. Di antara kesebelas prioritas itu, penanggulangan kemiskinan berada di urutan keempat. Tidak main-main, persentase penduduk miskin dipatok harus di bawah 10 persen pada tahun 2014. Itu artinya, persentase penduduk miskin harus turun minimal satu persen per tahun. Sayangnya, target ambisius itu kenyataannya jauh panggang dari api. Data statistik menunjukkan, pemerintah nampaknya hanya jago membuat target, tapi lemah dalam mewujudkannya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang Maret 2009 – Maret 2012, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lamban. Secara rata-rata, kurang dari satu persen per tahun. Padahal, di sisi lain kita tahu, dana yang telah digelontorkan pemerintah untuk segala rupa program pengentasan kemiskinan yang kian berlapis tidaklah sedikit dan terus meningkat dari tahun ke tahun–mencapai Rp90 triliun pada tahun 2012.

Produksi Kedelai: Indonesia “Bangsa Tempe”

Sudah tiga hari lamanya menu gorengan tempe dan tahu tak lagi tersaji di warung makan Tegal (warteg) tempat saya biasa santap sahur. Nampaknya, ini merupakan buntut dari meroketnya harga kedelai belakangan ini sehingga memaksa sejumlah perajin tahu-tempe menyetop produksinya. Alhasil , kedua panganan hasil olahan kedelai tersebut pun menjadi langka, bahkan menghilang di sejumlah tempat. Kabarnya, suplai komoditas kedelai sedang terganggu. Harga komoditas ini di pasar internasional dikabarkan melambung akibat gangguan produksi (anomali iklim) yang terjadi di sejumlah negara utama pemasok kedelai di pasar dunia. Amerika Serikat (AS), misalnya, saat ini sedang dilanda kekeringan. Kondisi ini tentu sangat tidak menguntungkan buat Indonesia yang sebagian besar pemenuhan kebutuhan kedelainya bergantung pada impor.

Wow! Kecil-kecil Sudah Jadi Pejabat

Arif Ibrahim Koto (Nyolong dari FB yang bersangkutan) Lima hari lalu (17/7), seorang sahabat nun di Pulau Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), melayangkan sejumlah pertanyaan terkait penghitungan angka kemiskinan kepada saya via Facebook. Uda bermarga Koto kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu minggu depan akan presentasi di depan Bupati Kepulauan Mentawai dan Kepala SPKD. Dia khawatir bakal dicecar sejumlah pertanyaan terkait kemiskinan oleh Pak Bupati dan kawan-kawannya. Maklum, dia menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Nerwilis) di kantornya, BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang hampir saban hari diteror ancaman gempa dan tsunami itu. Tidak main-main, penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indikator Kesejahteraan Sosial (Inkesra) menjadi tanggungjawabnya. " Ane pegang Inkesra ama PDRB, boss...." seperti itu kalimat yang dia tuliskan dalam pesannya. Jujur, saya terkagum-kagum kala membacanya. Hebat

Justifikasi Surplus 10 Juta Ton Beras

Senin lalu (2/7), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis perkiraan angka produksi padi tahun ini sebesar 68,5 9 juta ton gabah kering giling (GKG). Perkiraan tersebut disebut Angka Ramalan I (ARAM I). Angka yang tentu sangat menggembirakan bagi para pejabat pemerintah terkait pencapaian target surplus 10 juta ton beras di 2014. Betapa tidak. Angka ini lebih tinggi dari target produksi padi yang  ditetapkan pemerintah tahun ini, yakni sebesar 67,82 juta ton GKG.   Jika dikonversi ke beras, angka 68,5 9 juta ton tersebut setara dengan 39, 10 juta ton beras, jauh melampaui konsumsi beras nasional sebesar 33,40 juta ton. Artinya, tahun ini, diperkirakan terjadi surplus beras sekitar 6 juta ton , atau di atas target yang telah ditetapkan pemerintah–terkait  upaya mengamkan pencapaian surplus 10 juta ton beras di 2014–yakni sebesar 5,1 juta ton. Hitung-hitungan di atas didasarkan pada data-data berikut : angka konversi gabah (kualitas GKG) ke beras sebesar 0,57 dan k

Data Berkualitas, Tanggungjawab Siapa?

Ada sosok yang menarik untuk diulas di Direktorat Pegembangan Metodologi Sensus dan Survei, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS-RI). Sosok yang tak lama lagi bakal angkat kaki (baca: pensiun) dari BPS itu, boleh dibilang, adalah orang yang paling bertanggungjawab atas validitas dan keterandalan metodologi setiap sensus dan survei besar yang dihelat BPS. Dia adalah sang maestro, arsitek metodologi setiap sensus dan survei besar yang dilkakukan BPS dalam beberapa tahun terakhir. Saking sentralnya peran sosok yang bernama lengkap Ir. Purwanto Ruslam itu, selama ini di BPS ada pemeo: setiap kata yang terlontar dari lisannya terkait metodologi ibarat fatwa, titah, sebuah kebenaran mutlak (absolutely truth) yang tak bisa dibantah (kecuali oleh orang-orang tertentu pastinya). Terkait metodologi, seolah dia punya otoritas untuk berkata" soal metodologi itu domain gue, kalian cukup manut saja." Sayangnya, di penghujung masa pengabdiannya, Pak Pur, demikian biasa dia d

Kemenangan Jokowi dan Angka Kemiskinan BPS

Judul tulisan ini memang sedikit maksa. Tapi saya kira ada betulnya juga...hehehee Saat memelototi hasil penghitungan suara di sebuah TPS siang kemarin, saya hampir terjebak pada penarikan kesimpulan keliru: Foke-Nara bakal memenangkan Pilkada DKI kali ini dengan hanya satu putaran saja. Soalnya, rekapitulasi hasil penghitungan suara petugas TPS dengan terang menunjukkan bahwa perolehan suara Foke-Nara tak mungkin terkejar, jauh meninggalkan para kandidat lainnya, termasuk Jokowi-Ahok yang ternyata menjadi pemenang menurut versi (hasil survei) hitung cepat sejumlah lembaga survei.

BPS: Badan Pertahanan SBY

Mohan maaf jika isi tulisan tidak sesuai dengan judulnya. Hanya sekedar memancing Anda untuk membaca....hehehe. Saya merasa “ngeri” juga kala menyaksikan acara Bedah Editorial Media Indonesia di sebuah stasiun TV tempo hari. Tema yang diangkat dalam acara hari itu adalah Peta Kemiskinan, yang lagi-lagi menyoroti akurasi data kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) 1 Juli sebelumnya. BPS lagi-lagi melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin mengalami penurunan: pada Maret 2012 jumlah penduduk miskin dilaporkan turun sebesar 890 ribu orang dibanding kondisi Maret 2011.  Seperti biasanya, ini merupakan kabar gembira yang segara disikapi skeptis oleh sebagian kalangan, terutama mereka yang tidak puas dengan kinerja pemerintahan saat ini. Ada anggapan bahwa statistik kemiskinan yang dirilis BPS tersebut telah mengesampingkan realitas kehidupan yang dirasakan rakyat kecil alias tidak sesuai dengan fakta keseharian yang mereka rasakan. Dan lagi-lagi, BPS kembal

Biar Singkat yang Penting Top

Salah satu fakta menarik di STIS selama tiga tahun terakhir (estimasi) adalah mahasiswa lelaki asal Sulawesi memiliki nama yang singkat, mungkin paling singkat sepanjang sejarah AIS/STIS yang sudah eksis sejak dekade 50 an dalam menempa para calon statistisi. Di angkatan saya (48), ada nama Takdir dan Kadir. Saya ingat betul kala prosesi wisuda (pindah kuncir) angkat an saya, aula STIS bergemuruh oleh tawa para tetamu ketika nama kedua orang itu dipanggil ke podium untuk dipindahkan kuncirnya. Di angkatan 49, ada lagi kawan asal Sulawesi yang lebih singkat namanya, hanya empat haruf, tak lebih. Rais, demikian nama kawan asal Makassar yang perawakannya, mungkin juga jiwa kepemimpinannya, mirip Anis Matta itu.

BPS Setelah Rusman (1)

  Saya tidak gampang kagum pada sembarang orang, hanya pada orang yang saya anggap spesial dan pantas dikagumi. Dari sederet orang yang saya kagumi, mantan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan yang kini menjabat Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) adalah salah satunya. Beliau adalah sosok langka dalam sejarah kepemimpinan BPS. Seorang pemimpin yang tidak hanya punya visi besar untuk memajukan BPS dan meneguhkan eksistensinya, tetapi juga mampu menerjemahkan visi tersebut menjadi realita. Saya kira, semua insan BPS bakal sepakat, Rusman adalah satu-satunya kepala BPS yang mampu membuat perubahan dan sejumlah terobosan besar untuk kemajuan BPS di jamannya. Membuatnya pantas dikenang dan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah BPS. Jabatan baru yang diembannya sebagai Wamentan adalah bukti kualitas seorang Rusman, terlepas dari anggapan bahwa itu semua dikarenakan kedekatannya dengan SBY. Terkait hal ini, saya hanya bisa berkomentar: tentu hanya orang-orang

BPS Setelah Rusman Pergi (2)

Saya punya sohib (sok dekat) seorang pejabat eselon IV di BPS. Kami berdua sering terlibat diskusi "ngawur" selepas jam kerja. Saya sering mampir ke ruangannya saat jam kerja usai, tujuan utama saya sebetulnya cuma satu: mencari tumpangan alias tebengan gratis untuk pulang.....hehehe. Maklum, dari hari ke hari pelayanan bus Transjakarta (busway) kian "brengsek." Saat menu nggu bus di Halte Budi Utomo, di dalam pikiran saya terkandang terlintas niat jahat. Bukan melakukan pelecehan seksual di dalam bus. Meskipun, kesempatan untuk itu memang terbuka lebar.....hehehe. Bukan, saya masih sedikit bermoral untuk tidak melakukan itu. Niat jahat yang saya maksudkan adalah memukul supir bus dan penjaga pintunya atau kalau perlu pejabat yang bertanggungjawab terhadap brengseknya pelayanan yang diberikan pihak Transjakarta. Saya katakan brengsek karena jelas sudah keterlaluan menunggu lebih dari satu jam hanya untuk masuk ke dalam bus yang syarat penumpang,

Kader BPS Handal, Seperti Apakah?

Kala menjadi ‘motivator dadakan’ dalam acara Kajian Statistik yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Kajian Statistik (UKM-FORKAS), Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) minggu lalu, di sesi diskusi saya diberondong sejumlah pertanyaan yang menurut saya menarik untuk dibagi lewat tulisan ini. Tema yang diangkat dalam Kajian Statistik Sabtu itu adalah “Menjadi Kader BPS Handal.”Tema yang sebetulnya kurang pas jika dikaitkan dengan judul acaranya, “Kajian Statistik.”Betapa tidak. Paparan yang saya sajikan lebih berupa motivasi dan sharing pengalaman, bukan materi tentang Statistika. Itulah sebab, di awal saya sebutkan, saya menjadi motivator dadakan hari itu.....Salam Super. Kader BPS Handal? Tak bisa ditampik, sebagai institusi yang diamanahi tugas untuk merekam jejak sejarah pembangunan negeri ini lewat data, BPS begitu bergantung pada STIS. Saban tahun sekolah tinggi kedinasan, yang fokus mendidik para calon statistisi pemerintah itu, menyuntikkan dara seg